Postingan sedikit seakan menandakan ketumpulan pikiran saya.
Langsung saja ya. Diskusi hari Selasa lalu (18/3) sedikit banyak mengisi amunisi pikiran saya. Tema diskusinya terdengar ringan: Apa bedanya mahasiswa dan siswa?

Enam bulan rasanya sudah cukup bagi saya untuk mengeksposisikan poin-poin penting dari perbedaan status itu, mahasiswa dan siswa. Yang jelas berbeda di hidup saya adalah jarak antara saya dan orang tua. Ini jarak asli, secara kuantitatif kami jadi terpisah karena saya memilih untuk menuntut ilmu di kota yang berbeda. Meski begitu, secara kualitatif kami tidak pernah merasa jauh. Tapi, bukan itu yang menjadi momok dalam diskusi lalu.

Kenapa tema ini diangkat?
Si pengusung tema sempat memaparkan latar belakang tercetusnya tema diskusi malam itu. Katanya, dia kadang risih dengan temannya yang sering menimpali dirinya atau temannya yang lain saat mencoba berbicara serius perihal bangsa ini. Respon-respon semacam "Kok berat banget sih omongannya?" atau "Bacaan lo berat banget" atau "Lo terdoktrin siapa?" memang lebih sering terdengar di kalangan pemuda generasi saya. Dibandingkan generasi siapa? Ya dibandingkan generasi yang lalu. Tak mungkin ada yang berlelucon seperti itu saat forum pemuda revolusioner menggangas penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Padahal hakikatnya, secara lahiriyah kita sama-sama pemuda.

Sebenarnya, saya ada di kubu yang mana ya?
Penikmat persoalan bangsa atau pencetus lelucon kepada mereka yang mencoba peduli pada bangsa ini?
Sebenarnya, agak bias untuk menentukan fokus 'persoalan bangsa'. Orang terlalu larut dalam politik yang telah mengobrak-abrik segala sendi di negara kita. Politisasi. Itu lebih tepat. Namun, haruskah seorang pemuda menaruh konsentrasi pada dunia yang penuh dengan siasi itu?

Bagi saya, memiliki visi matang dalam sebuah bidang yang ditekuni lebih penting daripada nimbrung di persoalan politik.Biarlah kita tak kenal siapa calon legislatif yang mumpuni. Biarlah kita tak tahu banyak tentang birokrasi dan ulah birokrat di atas sana. Tak usah repot ingin kultwit tentang korupsi setiap jam 7 malam biar 'dilirik' orang. Tak perlu bertele-tele menyatakan bahwa apa-apa dipolitisasi. Sudah siapkah kita dengan segudang ide untuk perubahan bangsa? Bukannya tak boleh berkicau tentang politik. Tapi, coba telisik dulu, adakah ide yang lebih rasional dan realistis untuk masing-masing dari kita wujudkan? Setidaknya dalam bidang kita. Sebagai contoh, saya, mahasiswa teknologi pangan. Sudahkah saya menyusun rencana untuk perubahan bangsa ini dalam bidang pangan?

Pangan akan selalu bernaung di ranah pertanian. Kalau saya mau sibuk mengkritik bagaimana politik dan siasat yang ada di Kementerian Pertanian, mungkin saya akan terlalu rewel menyusun kata-kata 'buruk namun baik' untuk dilontarkan. Tapi, bukankah saya seharusnya lebih concern pada ilmu pangan itu sendiri? Untuk merubah sesuatu, seharusnya saya punya solusi. Solusi itulah yang mesti didapatkan dari kerja keras dan ketekunan dalam bidang yang dinaungi. Kalau memang saya mau ahli dalam bidang pangan, ya saya harus siap dengan solusi-solusi yang solutif untuk pangan itu sendiri.
Bagaimana caranya?
Belajar.